Iklan

Iklan 970x250

,

Iklan

Kuasa Hukum Sebut Penetapan EN Seperti Dipaksakan, Kejari Tasikmalaya Angkat Bicara!

Heru Pramono
7 Okt 2025, 19:33 WIB Last Updated 2025-10-07T12:35:40Z
Kuasa Hukum EN, Junaedi Yahya./Liputanesia. (Foto: Istimewa).

Tasikmalaya - Penetapan tersangka pada kasus dugaan penyelewangan pupuk bersubsidi oleh Kejari Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat, pada Kamis kemarin (2/10/2025) diduga terkesan dipaksakan.

Bagaimana tidak terkesan diduga dipaksakan, pasalnya penetapan tersangka EN (nama inisial) oleh Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Tasikmalaya, seperti tidak mengindahkan azas hukum Ne Bis In Idem dari Kejar Kota Banjar pada 2023 yang lalu.

Di mana, EN sebelumnya sudah menjalani masa hukuman atau tahanan dari Kejari Kota Banjar pada tahun 2023 yang lalu dengan dugaan kasus yang sama kini sedang ditangani Kejari Kabupaten Tasikmalaya.

Diketahui bersama, Kejari Kabupaten Tasikmalaya telah menetapkan 3 tersangka pada kasus dugaan penyelewengan pupuk sejumlah 7,8 ribu ton selama periode 2021-2024, Kamis kemarin yakni EN, ES dan AH.

Hal ini diungkap, kuasa hukum EN, Junaedi Yahya, kepada wartawan di Ciamis, Senin (6/10/2025) siang.

Lanjutnya, banyak kejanggalan pada penetapan tersangka kliennya saudara EN. Sebelumnya, EN sudah menjalani masa hukuman atau tahanan oleh Kejari Kota Banjar pada tahun 2023 yang lalu.

Kemudian, "pada kasus yang sedang ditangani Kejari Kabupaten Tasikmalaya ini sebelumnya status EN sebagai saksi. Namun tiba-tiba secara mengejutkan, Kejari Kabupaten Tasikmalaya menetapkan EN sebagai tersangka Kamis kemarin," ujarnya.

Dijelaskan kuasa hukum, "Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor : 56/Pid.Sus /2023/PN/Bjr, yang telah diusut dan ditangani oleh Bareskrim Mabes Polri dan telah berkekuatan hukum Tetap (inkrach).

"Atas perkara yang sama, atau Ne Bis In Idem, seseorang tidak bisa dituntut dua kali untuk perbuatan yang sama apabila sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dan hal ini pun jelas potensi melanggar hak asasi manusia." ujarnya.

Junaedi pun menyayangkan sikap Kejari Kabupaten Tasikmalaya telah membangun narasi-narasi penggiringan opini dan seolah-olah kasus ini kembali terjadi.

Padahal runtutan kasus tersebut bergulir sejak periode tahun 2021-2024. Klien kami (EN-mksd) dinyatakan sebagai owner perusahaan distributor pupuk pada kasus yang sama ini pun salah.

EN Membeli Perusahaan CV. MMS Agustus 2024

Diungkapkan lagi, kuasa hukum EN, bahwa EN telah membeli perusahaan CV. MMS pada Agustus 2024. Lantas disangkakan adanya keterlibatan pada penyelewengan pupuk hingga sebanyak 7,8 ribu ton menurutnya, janggal," ungkapnya.

“Pemilik lamanya berinisial (YD), asal Jakarta, kemudian dijual ke (EN) pada Agustus 2024. Selanjutnya kenapa hal ini tidak diungkapkan ke publik oleh Kejari Kabupaten Tasikmalaya," katanya.

"Jadi, kalo yang diperkaran Kejaksaan dari tahun 2021 sampai 2024, klien saya hanya bertangggung jawab dari bulan Agustus 2024 sampai sekarang.” tandasnya.

"Yang menjadi pertanyaan, atas dasar apa kejaksaan menetapkan EN sebagai tersangka dari taun 2021 sampai 2023. Sedangkan, EN sebelumnya sudah menjalani hukuman sebagaimana Ne Bis In Idem yang ada," bebernya.

“Kalau memang terjadi penyimpangan di tahun tersebut, mungkin Mens Rea atau niat jahat dilakukan oleh pemilik lama. Lalu, kenapa EN ikut menjadi tersangkanya.” tanyanya.

Kuasa Hukum Soroti Penyitaan Barang Bukti

Sebagaimana yang disangkakan Kejari Kabupaten Tasikmalaya kepada EN, kusa hukum menyoroti penyitaan barang bukti sejumlah 7,8 ribu ton yang telah disita Kejari Kabupaten Tasikmalaya, itu adalah bohong. Faktanya, satu kilo pupuk pun tidak ada yang disita.

Junaedi menjelaskan, kapasitas di gudang penyangga kabupaten saja untuk penyimpanan pupuk setelah saya cek, kapasitasnya paling 4,000 ribu ton untuk satu Kabupten.

“Kalo memang benar dari pihak Kejaksaaan menyita 7,8 ribu ton seperti yang ramai diberitakan, pupuk tersebut di simpan dimana, dan sampai saat ini pihak Kejaksaan tidak bisa menujukan satu kilo pun bukti tersebut.” tanyanya kembali tegas.

“Silahkan cek saja sendiri, kalo benar terjadi penyitaan sebanyak 7,8 ribu ton, apakah barang tersebut ada di Kejaksaan?,” tegas kuasa hukum.

Selain dari itu, Junaedi, juga menyebutkan bahwa proses penyitaan barang bukti berupa 1 unit truk tronton, menurutnya cacat hukum.

“Pada saat surat peyitaan diberikan, surat tersebut tidak ditandatangani oleh Jaksa Muda, (Kasi Pidsus), yang dalam surat penyitaan tertulis pada tanggal 03 Juli 2025, atas nama Rahmat Hidayat SH,.MH.” jelasnya.

Tidak hanya itu, Jun juga mempertanyakan tentang keterkaitan barang bukti 1 unit truk tronton, dengan kasus yang bergulir di Kecamatan Ciawi yang dinilainya tidak nyambung.

"Sesungguhnya kasus yang sedang diungkap apa?, barang buktinya apa?, silahkan saja nilai sendiri.” tanyanya aneh.

Kalau dulu waktu penggeledahan kemudian ditemukan barang bukti dari pelakunya langsung, mungkin jatuhnya OTT atau Operasi Tangkap Tangan.

“Tapi kan orangnya juga masih ada pada saat itu, penetapan tersangkanya juga baru kemarin. Kalau memang benar ada barang bukti, mestinya kan langsung di tangkap, dan ditetapkan sebagai tersangka waktu itu juga,” ungkapnya.

Menanggapi hal tersebut, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Tasikmalaya melalui Kepala Seksi (Kasi) Intelijen, Bobbi Muhamad Ali Akbar saat dikonfirmasi, Selasa (7/10) kepada Liputanesia menuturkan.

"Bahwa penyidikan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) yang ditangani sudah tepat karena telah memenuhi unsur-unsur pasal yang disangkakan," katanya.

"Perkara yang kami tangani berkaitan dengan tipikor dengan sangkaan melanggar pasal 2 dan pasal 3, UU Tipikor dan adanya kerugian keuangan negara. Dan menurut kami perkara ini baru APH Kejari Kabupaten Tasikmalaya yang menanganinya."

Sementara, berkenaan dengan Ne Bis In Idem untuk versi penyidik tidak ada istilah tersebut. "Sedangkan, untuk barang bukti saat ini masih dalam proses. Ya nanti bisa dilihat dalam fakta persidangan," pungkasnya.

Iklan