Iklan

Iklan 970x250

,

Iklan

Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi Aliansi Intelijen Global

Redaksi Liputanesia
31 Okt 2025, 11:09 WIB Last Updated 2025-10-31T04:10:47Z
Sebagian besar jalur internet internasional melewati Indonesia melalui kabel laut yang terhubung ke pusat data global, Sumber: https://blog.apnic.net/2022/06/02/the-politics-of-submarine-cables-in-the-pacific/

Opini - Di tengah era globalisasi informasi dan perang siber yang semakin kompleks, posisi strategis Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara menghadirkan tantangan sekaligus peluang dalam ranah intelijen dan keamanan digital.

Aliansi intelijen global seperti Five Eyes, SIGINT Seniors Europe (SSEUR), dan SIGINT Seniors Pacific (SSPAC) menunjukkan bahwa pertukaran informasi sensitif antarnegara bukan hanya soal keamanan nasional, tetapi juga instrumen geopolitik yang menentukan kekuatan strategis di level global.

Implikasi bagi Kedaulatan Digital Indonesia

Menurut teori kedaulatan digital (digital sovereignty) oleh Pierucci, F. (2025), negara memiliki hak untuk mengontrol infrastruktur digital, data warga, dan komunikasi elektronik yang melewati wilayahnya.[1] Aliansi intelijen global memperlihatkan bahwa data dan komunikasi menjadi aset strategis.

Program seperti RAMPART-A dan CROSSHAIR menunjukkan bagaimana negara-negara anggota mengakses jalur komunikasi internasional, termasuk metadata telepon, email, dan informasi internet, untuk kepentingan keamanan nasional mereka.[2]

Bagi Indonesia, hal ini menimbulkan risiko nyata terhadap kedaulatan digital, terutama karena sebagian besar jalur internet internasional melewati Indonesia melalui kabel laut yang terhubung ke pusat data global.

Penelitian oleh Gani, T. A. (2023) dan Nugraha, Y. (2016) menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki kelemahan signifikan dalam pengawasan siber nasional, baik dari sisi regulasi maupun kapasitas teknologi, sehingga potensi pelanggaran kedaulatan digital menjadi isu kritis yang harus segera ditangani.[3][4]

Edward Snowden Sumber: https://www.theguardian.com/us-news/2022/aug/31/edward-snowden-nsa-gchq-guardian-book

Pada tahun 2013, terungkap melalui dokumen yang dibocorkan oleh Edward Snowden bahwa NSA memanfaatkan aliansi Five Eyes untuk memantau komunikasi di kawasan regional, termasuk Asia Tenggara.[5][6]

Edward Snowden Sumber: https://www.theguardian.com/us-news/2022/aug/31/edward-snowden-nsa-gchq-guardian-book

Meskipun Indonesia bukan anggota langsung dari aliansi ini, kondisi geografisnya yang menjadi jalur transit utama kabel internet internasional dan tingginya volume trafik digital regional membuat negara ini berada dalam risiko potensial terhadap intersepsi data oleh pihak asing.

Situasi ini menegaskan bahwa kedaulatan digital Indonesia dapat terancam tidak hanya melalui pengawasan langsung, tetapi juga melalui pengaruh aliansi intelijen global terhadap infrastruktur komunikasi regional.

Diplomasi Intelijen dan Strategi Nasional

Dalam menghadapi era cyber intelligence dan perang informasi, diplomasi intelijen menjadi instrumen yang krusial bagi negara-negara yang ingin menjaga keamanan nasional sekaligus posisi strategisnya di kancah global. Menurut teori hubungan internasional neorealistik yang dikemukakan oleh Keohane, R. O. (1988), negara berupaya memaksimalkan keamanan melalui kombinasi kemampuan internal dan pembentukan aliansi strategis.[7]

Bagi Indonesia, hal ini berarti negara tidak boleh hanya bersikap sebagai pengamat pasif terhadap dinamika aliansi intelijen global seperti Five Eyes, SSEUR, atau SSPAC, melainkan harus tampil sebagai aktor yang strategis, mampu mengamankan kepentingan nasional sekaligus membangun kapasitas kerjasama internasional yang seimbang.

Upaya strategis Indonesia perlu dimulai dengan peningkatan kemampuan teknis dan sumber daya manusia di bidang SIGINT, cyber threat intelligence, serta analisis data strategis. Penelitian Mudra, C., & Prasidya, F. G. (2024) menekankan pentingnya penguatan kapasitas SDM di Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menghadapi ancaman siber lintas negara, termasuk akses tidak sah terhadap data kritis dan serangan siber yang menargetkan infrastruktur vital.[8]

Adapun diplomasi intelijen Indonesia juga harus diarahkan pada kolaborasi bilateral maupun multilateral dengan negara-negara sahabat yang memiliki kapasitas serupa, tanpa mengorbankan independensi nasional.

Seperti kemitraan intelijen siber melalui ASEAN Cybersecurity Cooperation (ACSC) atau forum trilateral dengan Jepang dan Korea Selatan dapat menjadi sarana efektif untuk memperoleh informasi strategis sekaligus meningkatkan kemampuan nasional.

Selain pembangunan kapasitas dan kerjasama, transparansi dan akuntabilitas operasional intelijen menjadi aspek untuk menjaga legitimasi politik dan kepercayaan publik. Mekanisme oversight Five Eyes melalui FIORC bisa menjadi referensi bagi Indonesia dalam menyusun sistem pengawasan internal yang memastikan kegiatan intelijen tetap berada dalam koridor hukum dan kepentingan nasional.

Adapun negara-negara seperti Singapura dan Australia yang merupakan anggota SSPAC berhasil membangun sistem peringatan dini (early-warning system) untuk ancaman siber regional melalui pertukaran intelijen multilateral, sementara Indonesia masih berada pada tahap perencanaan konsep Early Warning System nasional.[9]

Hal ini menunjukkan bahwa tanpa strategi yang terpadu dan diplomasi intelijen yang aktif, Indonesia berisiko tertinggal dalam menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks dan terkoordinasi secara global.

Peluang Kemitraan Regional

Sebagai negara dengan posisi geopolitik yang strategis di Asia Tenggara, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi poros dalam pembentukan arsitektur keamanan siber regional. Melalui peran aktifnya di ASEAN, Indonesia dapat mendorong terbentuknya kolaborasi intelijen yang lebih terintegrasi, khususnya dalam menghadapi ancaman siber, terorisme digital, dan penyalahgunaan informasi lintas negara. Forum seperti ASEAN Cybersecurity Cooperation (ACSC) menjadi wadah bagi pertukaran data intelijen, analisis ancaman, dan pembelajaran bersama antarnegara anggota.

Peluang ini dapat dimanfaatkan Indonesia untuk memperkuat posisi strategisnya dengan berperan sebagai inisiator dan fasilitator pertukaran informasi sensitif yang relevan bagi keamanan regional. Melalui kerja sama tersebut, Indonesia juga dapat mendorong peningkatan kapasitas teknologi dan sumber daya manusia di bidang intelijen digital bagi negara-negara ASEAN yang masih memiliki keterbatasan kemampuan teknis.

Pelatihan, lokakarya, dan pembangunan infrastruktur bersama menjadi langkah konkret yang tidak hanya memperkuat kolaborasi, tetapi juga menumbuhkan rasa saling percaya antaranggota ASEAN dalam menghadapi ancaman siber yang bersifat lintas batas.

Kerja sama ini perlu diimbangi dengan upaya standardisasi protokol keamanan komunikasi dan prosedur koordinasi operasional, agar setiap negara anggota memiliki acuan yang seragam dalam mendeteksi, merespons, dan menanggulangi serangan siber.

Indonesia dapat mengambil peran utama dalam merumuskan standar tersebut, dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip kedaulatan digital dan non-intervensi yang menjadi fondasi hubungan antarnegara di kawasan.

Namun, peluang besar ini juga datang dengan tantangan serius. Indonesia harus memastikan bahwa partisipasinya dalam kerja sama keamanan siber tidak menempatkan negara pada posisi pasif sebagai penerima teknologi dan informasi semata.

Diperlukan kebijakan yang matang, independen, dan berorientasi jangka panjang agar Indonesia dapat berkontribusi secara strategis dalam proses pengambilan keputusan dan arah kebijakan keamanan regional. Dalam hal ini, pembangunan sistem peringatan dini nasional, penguatan infrastruktur komunikasi yang aman, serta pengembangan kapasitas analisis intelijen digital merupakan langkah fundamental yang tidak dapat ditunda.

Kesimpulan

Kesiapan Indonesia menghadapi aliansi intelijen global bukan hanya soal keamanan nasional, tetapi juga posisi strategis negara dalam peta kekuatan geopolitik digital. Mengandalkan diplomasi intelijen, membangun kemitraan regional yang berimbang, dan memperkuat kapasitas nasional adalah syarat utama agar Indonesia tidak tertinggal dalam era perang informasi.

Jika langkah-langkah ini terlaksana, Indonesia tidak hanya akan mampu mempertahankan kedaulatan digitalnya, tetapi juga menjadi aktor regional yang mampu mempengaruhi arah kebijakan keamanan di Asia Tenggara. Studi kasus dan pengalaman negara lain menunjukkan bahwa ketidaksiapan di ranah intelijen digital akan menempatkan negara pada posisi rawan dalam persaingan geopolitik modern.

Referensi

  • Batley, James, and Anna Powles. Mapping Security Cooperation in the Pacific Islands. n.d.
  • Gani, Taufiq A. Kedaulatan Data Digital Untuk Integritas Bangsa. Syiah Kuala University Press, 2023.
  • Keohane, Robert O. Alliances, Threats, and the Uses of Neorealism. JSTOR, 1988.
  • Lawrence Fox, MBA. Effects of the Public Disclosure of the NSA RAMPART-A Program: A Review of the Leaked Documents. n.d.
  • Miller, Seumas, and Patrick Walsh. “The NSA Leaks, Edward Snowden, and the Ethics and Accountability of Intelligence Collection.” In Ethics and the Future of Spying, 193–204. Routledge, 2016.
  • Mudra, Cakra, and Fragmadio Gana Prasidya. “Cybersecurity Dan Tata Kelola Intelijen.” Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional 7, no. 1 (2024): 2.
  • Nugraha, Y. The Future of Cyber Security Capacity in Indonesia. 2016.
  • Pierucci, Federico. “Sovereignty in the Digital Era: Rethinking Territoriality and Governance in Cyberspace.” Digital Society 4, no. 1 (2025): 1–19.
  • Walsh, Patrick F, and Seumas Miller. “Rethinking ‘Five Eyes’ Security Intelligence Collection Policies and Practice Post Snowden.” Intelligence and National Security 31, no. 3 (2016): 345–68.

Profil Penulis

Ruben Cornelius Siagian adalah seorang peneliti, akademisi, dan penulis opini yang aktif dalam bidang kebijakan publik, geopolitik, dan keamanan strategis Indonesia. Gaya tulisannya dikenal tajam dan analitis, menyoroti dinamika hubungan antara kekuasaan, teknologi, serta arah kebijakan nasional di tengah konstelasi global yang terus berubah.

Melalui berbagai media seperti VIVA.co.id, Kabar Aktual, Times Jakarta, dan Tandaseru.com, Ruben kerap membahas isu-isu penting mulai dari politik luar negeri, keamanan nasional, ekonomi politik, hingga implikasi strategis kecerdasan buatan terhadap kedaulatan negara.

Penulis: Ruben Cornelius Siagian.

Dalam dunia akademik, Ruben aktif melakukan riset yang berfokus pada analisis intelijen, kebijakan luar negeri, serta isu-isu nuklir dan energi global. Ia turut menulis sejumlah publikasi ilmiah bersama peneliti lain, seperti M. H. Rajagukguk dan B. Gunawan.

Salah satu karyanya yang menonjol adalah “Analysis of the Evolution of the Conference on the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW) 2012–2024: A SWOT Method Approach in Understanding Global Political and Security Dynamics”, yang dipresentasikan dalam International Conference on Strategic and Global Studies (ICSGS) dan diterbitkan oleh Atlantis Press pada tahun 2025.

Selain itu, Ruben juga menulis kajian geopolitik seperti “Investigating the Iran Presidential Helicopter Crash (2024): Causes, Geopolitical Dynamics, and Policy Impacts”, yang membedah peristiwa jatuhnya helikopter presiden Iran dari perspektif kebijakan dan politik internasional.

Ia turut meneliti peran energi nuklir dalam mencapai solusi energi berkelanjutan bersama tim peneliti di Jurnal Lemhannas RI, serta menyoroti tantangan ratifikasi Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW) di berbagai kawasan dunia melalui publikasi di Security Intelligence Terrorism Journal (SITJ).

Di bidang kebijakan nasional, Ruben juga berkontribusi dalam riset sosial-hukum seperti “The Urgency of the Indigenous Peoples Bill: Developing a Legal Framework for the Protection of Environmental Activists in Indonesia”, yang diterbitkan dalam Jurnal Pertahanan tahun 2025. Penelitian tersebut menegaskan komitmennya terhadap isu-isu keadilan sosial, perlindungan masyarakat adat, dan keberlanjutan lingkungan.

Sebagai penulis opini, Ruben kerap menyuarakan pandangan kritis terhadap arah politik dan ekonomi Indonesia, antara lain melalui artikel “Abdi Negara Vs Algoritma dan Perang Kedaulatan di Era AI”, “Purbaya dan Dialektika Baru Politik Ekonomi Indonesia”, serta “Ambisi Kosong Indonesia di Piala Dunia 2026 Akibat Strategi Gagal dan Kepentingan Politik”. Dalam setiap tulisannya, ia menampilkan sintesis antara analisis akademik dan refleksi kebijakan yang relevan dengan kondisi aktual Indonesia.

Berasal dari Medan, Sumatera Utara, Ruben Cornelius Siagian menempati posisi unik di antara generasi muda peneliti Indonesia yang menggabungkan disiplin ilmu sosial, intelijen strategis, dan kajian kebijakan publik.

Melalui karya ilmiah dan opini kebangsaannya, ia berupaya mendorong diskursus intelektual yang lebih kritis, independen, dan berorientasi pada kepentingan nasional Indonesia di tengah arus global yang kian kompleks.

[1] Federico Pierucci, “Sovereignty in the Digital Era: Rethinking Territoriality and Governance in Cyberspace,” Digital Society 4, no. 1 (2025): 1–19.

[2] MBA Lawrence Fox, Effects of the Public Disclosure of the NSA RAMPART-A Program: A Review of the Leaked Documents, n.d.

[3] Taufiq A Gani, Kedaulatan Data Digital Untuk Integritas Bangsa (Syiah Kuala University Press, 2023).

[4] Y Nugraha, The Future of Cyber Security Capacity in Indonesia, 2016.

[5] Patrick F Walsh and Seumas Miller, “Rethinking ‘Five Eyes’ Security Intelligence Collection Policies and Practice Post Snowden,” Intelligence and National Security 31, no. 3 (2016): 345–68.

[6] Seumas Miller and Patrick Walsh, “The NSA Leaks, Edward Snowden, and the Ethics and Accountability of Intelligence Collection,” in Ethics and the Future of Spying (Routledge, 2016), 193–204.

[7] Robert O Keohane, Alliances, Threats, and the Uses of Neorealism, JSTOR, 1988.

[8] Cakra Mudra and Fragmadio Gana Prasidya, “Cybersecurity Dan Tata Kelola Intelijen,” Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional 7, no. 1 (2024): 2.

[9] James Batley and Anna Powles, Mapping Security Cooperation in the Pacific Islands, n.d. []

Iklan