![]() |
Aktivis demokrasi Aceh, Sofyan, S.Sos, Minggu (21/9/2025)/Liputanesia/Foto: Ist. |
Sofyan, S.Sos, aktivis demokrasi asal Lhokseumawe, menilai usulan yang memberi kewenangan DPRA dan DPRK untuk mengusulkan anggota Badan Pengawas Pemilihan Aceh justru melemahkan independensi lembaga pengawas.
“Penyelenggara pemilu seharusnya mandiri sebagaimana amanat UUD 1945. Jika DPRA dan DPRK diberi kewenangan penuh, sulit membayangkan pengawas bisa bekerja objektif,” ujarnya, Minggu (21/9/2025).
Ia mengingatkan pengalaman Panwaslih Aceh sebelumnya, yang kerap tersandera tarik-menarik kepentingan politik karena proses seleksinya dikendalikan Komisi I DPRA. Banyak dugaan pelanggaran pemilu kala itu, menurutnya, berakhir tanpa tindak lanjut tegas.
Sofyan juga menyinggung kondisi serupa di Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, yang disebutnya tidak pernah lepas dari intervensi politik lokal. Karena itu, ia mendorong agar rekrutmen pengawas pemilu dikembalikan ke Bawaslu RI, sementara seleksi KIP Aceh dilakukan langsung oleh KPU RI melalui mekanisme nasional yang transparan.
Selain itu, ia menekankan perlunya keterbukaan publik dalam seluruh tahapan seleksi, penguatan mekanisme etik oleh DKPP, serta harmonisasi regulasi agar kekhususan Aceh benar-benar memperkuat demokrasi, bukan sebaliknya.
“Publik Aceh harus waspada. Rekrutmen pengawas dan penyelenggara pemilu wajib independen dan bebas dari konflik kepentingan. Jika tidak, demokrasi hanya akan menjadi panggung elitis yang jauh dari mandat rakyat,” tegasnya.
Sofyan menutup pernyataannya dengan peringatan keras, "Aceh membutuhkan pengawas pemilu yang benar-benar mandiri agar demokrasi tidak rapuh, dan mampu melahirkan pemimpin berkualitas, bukan sekadar hasil kompromi politik," pungkasnya.