Kemen PPPA, tegaskan akan kawal ketat proses hukum dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual anak/Liputanesia.co.id/Foto: Ist. - Ed. Abdul Mutakim. |
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyatakan akan memantau dengan ketat proses hukum dan pemulihan terhadap dua korban kekerasan seksual tersebut.
Dalam keterangan pers, pada Kamis (7/11/2024), Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, menyampaikan bahwa sesuai arahan Menteri PPPA, Arifah Fauzi, pihaknya telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait dalam menangani kasus yang melibatkan beberapa terlapor ini.
“Kemen PPPA telah berkoordinasi dengan UPTD PPA Provinsi Jawa Tengah, UPTD PPA Purworejo, dan aparat kepolisian dalam penanganan kasus ini. Koordinasi akan terus dilakukan untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan, pendampingan hukum, pemulihan psikologis, serta hak-haknya terpenuhi selama proses hukum berlangsung sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Nahar.
Nahar menjelaskan bahwa Kemen PPPA akan bekerja sama dengan berbagai pihak guna memastikan proses hukum berjalan adil dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, serta memastikan bahwa korban mendapatkan pemulihan yang layak.
Selain itu, ia juga mengingatkan pentingnya peran keluarga dalam melindungi anak-anak dari risiko kekerasan.
“Kasus kekerasan seksual pada anak yang masih banyak terjadi menjadi perhatian serius bagi kita semua, terutama bagi orang tua dan keluarga terdekat lainnya, untuk meningkatkan kewaspadaan dalam melindungi anak-anak," jelasnya.
Nahar menjelaskan pentingnya peran keluarga dalam menjaga keselamatan anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan. Selain memenuhi kebutuhan fisik, anak-anak juga membutuhkan dukungan emosional dan lingkungan yang aman untuk tumbuh kembang mereka.
“Anak-anak membutuhkan pengasuhan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga mencakup perlindungan emosional dan lingkungan yang aman. Keluarga terdekat anak juga dapat turut melakukan pengawasan dan melindungi mereka agar mereka tetap merasa aman, mendapatkan kasih sayang, dan tidak terlantar," ujarnya.
Saat ini, proses penyidikan oleh aparat kepolisian masih berlangsung. Nahar menyebut bahwa para terlapor dapat dikenai pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu Pasal 76D jo Pasal 81 dan/atau Pasal 76E jo Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal tersebut mengatur ancaman pidana hingga 15 tahun penjara serta denda maksimal Rp5 miliar. Di samping itu, terlapor juga dapat dikenakan pidana tambahan berupa pengumuman identitas, kecuali bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH).
“Selain Undang-Undang Perlindungan Anak, para terlapor juga dapat dikenakan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Tersangka yang diduga melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dapat dipidana hingga 12 tahun penjara atau denda paling banyak Rp300 juta,” tambah Nahar.
Ia juga menegaskan bahwa Pasal 23 dalam Undang-Undang TPKS mengatur bahwa kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan. Korban berhak mendapatkan restitusi serta layanan pemulihan sesuai Pasal 30 Undang-Undang tersebut.
Sementara untuk terlapor yang berstatus Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH), proses hukum akan mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Kemen PPPA berharap agar masyarakat aktif menjaga anak-anak dari kekerasan dan tidak ragu untuk melaporkan kasus serupa ke lembaga berwenang.
Masyarakat dapat melaporkan tindak kekerasan melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau WhatsApp di nomor 08-111-129-129 jika menemukan, mendengar, atau mengalami kekerasan serupa.